Siapa yang menyangka video seorang perempuan tengah melakukan senam aerobik di Myanmar kemudian menjadi bagian dari sejarah dunia. Video “abang jago” dengan latar belakang bagian depan jalan utama menuju gedung parlemen di Nay Pyi Taw itu memperlihatkan awal mula konvoi militer untuk memulai kudeta di Myanmar.
Persis setahun lalu, saat korona belum menjadi pandemi dunia, saya masih menikmati semangkuk mohingya, bihun putih campur kari kental penuh rempah-rempah, untuk sarapan pagi di pinggir jalan utama Yangon, kota terbesar di Myanmar. Setiap kali mengunjungi tanah Burma, ada kesan personal yang kurang lebih sama yaitu rasa penuh asa. Meski mayoritas penduduknya pemeluk Budha, negeri ini kaya atas ragam-ragam etnis dan agama.
Negeri ini juga penuh semangat muda. Dinamis. Tahun 2013 adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di sana. Kunjungan dalam tahun-tahun setelahnya, hanyalah afirmasi bagaimana dinamika itu benar nyata. Geliat pembangunan terjadi di mana-mana.
Dari siaran berita di layar kaca, geliat itu mendadak sirna. Tragis. Pagi hari 1 Februari 2021 terjadi kudeta di Myanmar. Ada perasaan kesal dan marah. Sama seperti kebanyakan orang lainnya, mengutuk kudeta. Sehari setelahnya, saya mendapati berita, CNBC Indonesia menulis, ‘Senyum’ Muslim Rohingya di balik Kudeta Suu Kyi di Myanmar. Yang pada intinya, ratusan ribu pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Cox Bazar, Bangladesh awalnya merasa gembira dan merayakan berita kudeta di Myanmar.
Ekspresi mereka bisa jadi dirasa beralasan mengingat kandasanya harapannya atas Aung San Suu Kyi pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang selama lima tahun menjabat sebagai penasehat negara gagal membela Rohingya dari rangkaian kekejian massal oleh militer Myanmar. Bahkan di jagat maya, saat awal terjadinya kudeta, sejumlah warganet melontarkan cuitan sarkas. Karma katanya.
Jika menilik laporan tim khusus Dewan HAM PBB pada Agustus 2018, terdapat kesamaan aktor baik di balik kejahatan internasional atas kasus Rohingya maupun pelaku kudeta baru-baru ini. Dalam laporan itu, komunitas internasional mengecam dan mendesak untuk mengusut keterlibatan pucuk pimpinan militer Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing atas kekejaman massal yang mengarah pada aksi genosida.
Dari sini saja terlihat bagaimana kompleksitas situasi Myanmar yang secara geopolitik sangat strategis, menghubungkan Asia Timur dan Selatan, salah satu anggota ASEAN, terletak di antara China dan India. Informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana masih remang-remang. Negara yang sedang menuju demokrasi dan keterbukaan, kini kembali dalam cengkraman junta militer.
Transisi menuju demokrasi terjadi sekitar satu dasawarsa yang lalu. Puncaknya saat Aung San Suu Kyi bersama NLD memenangi pemilu 2015. Myanmar mulai terbuka. Namun, euforia dunia atas kemenangan NLD dan Suu Kyi cepat sirna. Reputasinya menukik jatuh, ia dikecam habis-habisan, utamanya atas sikap diamnya untuk kasus Rohingya.
Selama lima tahun memimpin negeri kaya jade dan ruby, Suu Kyi dianggap telah menutupi berbagai pelanggaran HAM serius yang dilakukan oleh militer Myanmar, khususnya saat pengadilan kriminal internasional untuk kasus Rohingya di Den Haag, 2019 lalu.
Tidak saja di Rakhine, militer Myanmar kerap melancarkan aksi anti kemanusaian yang sudah berlangsung cukup lama sejak negara itu merdeka dari Inggris 1949, utamanya di negara bagian Chin, Shan dan Kathcin dan beberapa daerah konflik lain di sana.
Asa publik yang begitu tingginya terhadap peraih penghargaan Nobel perdamaian itu kandas. Korban militer Myanmar dan komunitas internasional yang awalnya mafhum dengan situasi politik dalam negeri Myanmar, akhirnya mengutuk sikap diam dan akomodatif Suu Kyi terhadap militer. Alih-alih ingin terus menunggangi macan, dengan terus mengakomodasi kepentingan militer, Suu Kyi hari ini malah diterkam oleh macan itu sendiri.
Kudeta yang terjadi pada hari pertama sidang parlemen baru yang seharusnya digelar pada 1 Februari lalu, menggambarkan tentang betapa rapuhnya demokrasi di Myanmar. Saat ini, Tatmadaw atau militer Myanmar mengumumkan negara dalam keadaan darurat selama setahun.
Militer merebut paksa kekuasaan dan mengumumkan pemerintahan darurat yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing disusul penangkapan Aung San Suu Kyi atas dugaan impor gelap alat komunikasi dan Presiden Win Myint dengan tuduhan pelanggaran protokol kesehatan, serta membubarkan anggota parlemen dan melakukan reshuffle kabinet.
Sejarah Kudeta
Kudeta militer bukan barang baru di Myanmar. Kudeta pertama terjadi pada 1962 saat Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintah resmi Perdana Menteri U Nu yang menangani pemilu tahun 1960. Alasannya, negara dianggap dalam keadaan kacau dan pemerintah sipil hasil pemilu 1960 gagal mengembalikan keadaan akibat banyaknya konflik bersenjata di berbagai negara bagian. Kudeta selanjutnya terjadi pada Agustus 1998 ketika mahasiswa menggelar aksi protes besar-besaran menentang junta, ketika itu banyak sekali aktivis pro-demokrasi dibunuh, dianiaya, dikejar-kejar dan dipenjarakan tanpa melalui proses peradilan.
Ada yang unik dari karakteristik militer di Myanmar. Banyak analis militer menyebut, Tatmadaw, merasa dirinya sebagai penjaga persatuan negara atau “the guardian of the state.” Otoritas sipil, dianggap kurang punya kompetensi untuk menyatukan negara dengan segala persoalan dan keragaman etnisnya.
Kedudukannya terus ditegaskan konstitusi (termasuk hasil amandemen 2008) yang masih menjamin peran militer, persis dengan model Orde Baru, yang memiliki fraksi ABRI di parlemen Indonesia. Militer Myanmar menguasai 25 persen dari parlemen yang ditunjuk dari militer.
Sejarah Myanmar selalu diwarnai dengan pasang-surutnya hubungan sipil-militer di sana. Setelah dua kali kudeta militer, pada 2015 ketika NLD memenangi pemilu, pemerintahan sipil berkuasa dengan bayang-bayang militer. Usaha militer menghambat laju pemimpin NLD Aung San Suu Kyi, bukan cerita yang baru. Meski menang pemilu, ia tidak bisa menjadi presiden dan “hanya” menjadi penasehat negara.
Militer di sana masih kuat memegang urusan paling strategis negara, utamanya urusan pertahanan dan keamanan, perbatasan, dan urusan dalam negeri. Meski memenangi pemilu, de facto, militer masih terlalu kuat untuk ditundukkan supremasinya.
Problem Milter
Pemilu November tahun lalu, hasilnya kembali mengejutkan Tatmadaw dengan kemenangan mutlak NLD yang memperoleh 83 persen suara jatah di parlemen. Mereka melayangkan protes, menilai terdapat kecurangan 8 sampai 19 juta suara. Meski demikian, hal itu telah dibantah oleh komisi pemilihan umum Myanmar. Atas alasan tidak didengarkannya protes, Tatmadaw menggulingkan pemerintahan sipil.
Kemenangan NLD kali ini dapat diartikan sebagai jalan menuju agenda reformasi sektor keamanan di sana. ‘Dwifungsi militer’ akan dicabut. Militer merasa terancam jika konstitusi diubah dan jatah 25 persen hilang. Hal inilah, yang paling mewarnai motif kudeta Februari ini yang berbeda dari sebelumnya. Kudeta kemarin ditujukan untuk mengantisipasi gagasan amandemen konstitusi sebagai pre-emptive strike.
Pengumuman keadaan darurat, seharusnya dilakukan jika ada permintaan dari Presiden dan Dewan Keamanan seperti diatur dalam konstitusinya. Kali ini, keadaan darurat justru datang dari wakil presiden yang berasal dari pihak militer.
Militer Myanmar telah melakukan upaya pemaksaan, kekerasan dan penangkapan semena-mena atau arbitrary detention. Hal itu jelas tidak dibenarkan, termasuk di dalam konstitusi mereka sendiri. Kudeta ini wajib dikecam dan digugat.
Kudeta ini memperlihatkan, Tatmadaw yang tak bisa menerima kekalahan, tak percaya supremasi sipil, dan anti demokrasi. Tatmadaw pula yang selama ini terus melakukan upaya pemaksaan dan penyeragaman, melawan keragaman etnik, budaya dan ekspresinya jika hal itu tidak sejalan dengan kepentingannya. Selain menjadi musuh demokrasi, Tatmadaw juga menjadi aktor utama pelanggaran HAM.
Kini, Angkatan Militer Myanmar telah memblokade internet. Melalui layar kaca, saya melihat, lautan manusia turun ke jalan. Tidak rela demokrasi direbut paksa oleh junta. Ketidakpatuhan sipil atau civil disobedience sedang terjadi dimana-mana. Malam harinya penduduk riuh memukul-mukul panci. Mereka percaya itu untuk menolak bala, agar karma buruk segera sirna.
Demokrasi di Myanmar sedang didera. Tatmadaw harus membebaskan mereka yang ditahan tanpa tuduhan jelas. Dalam ketidakjelasan situasi saat ini, saya yakin, negeri itu tidak hilang asa. Saya membuka sosial media, dalam rasa yang masih tidak bisa menerima kenyataan, saya paksakan membuat konten berisi seruan solidaritas #StandWithMyanmar.
Ditulis oleh Daniel Awigra, Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG)