Dosa-dosa Media
Berita-berita kekerasan seksual yang tidak sensitif terhadap korban selain memperburuk kondisi korban juga memicu trauma bagi jurnalis yang melaporkannya. Trauma pada jurnalis timbul akibat perasaan bersalah karena memberitakan korban secara eksploitatif atau ketika jurnalis tidak dapat berbuat banyak untuk membantu korban, terlebih kerentanan korban kekerasan seksual sampai berujung kematian.
Hal ini disampaikan jurnalis-jurnalis Sulawesi Utara (Sulut) yang merasakan tantangan besar bagi reporter untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang korbannya terus berjatuhan dan tak terselesaikan secara adil sampai hari ini. Meskipun sudah menuliskannya dengan berperspektif korban, judul maupun diksi dalam pemberitaan bisa secara sepihak diubah oleh editor untuk agar sensasional dan clickbait atau mengejar search engine optimization (SEO) dan Google Adsense.
“Sebagai jurnalis perempuan, saya merasa sendirian menanggung ‘serangan’ mental ketika harus menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual,” ujar jurnalis Zonautara.com Neno Karlina Paputungan di hadapan 20 rekan-rekan jurnalis yang berdiskusi dalam Training & Story Grant “Media sebagai Ruang Aman Kelompok Marginal di Sulawesi Utara” (27/3).
Perempuan yang akrab disapa Neno ini juga sangat menyesalkan media yang secara umum hanya memberitakan kasus-kasus kekerasan seksual ketika peristiwanya mencuat. Setelah peristiwa lewat, nasib dan pemulihan korban tidak jadi perhatian media.
Dalam training yang digelar di pinggiran Minahasa yang berbatasan dengan Manado pada 25-27 Maret 2022 oleh Serikat Jurnalsi untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Manado yang didukung Kedutaan Besar Belanda, para peserta banyak membahas isu LGBTIQ dan bagaimana memberitakannya.
“Lewat kegiatan ini saya jadi tahu dan belajar banyak bagaimana memberitakan LGBT dan isu-isu terkait kelompok marginal lainnya agar media tidak semakin meminggirkan mereka,” kata jurnalis Barta1.com Agrendi Saselah dari Kepulauan Sangihe yang mengaku mendapat pengalaman baru mengikuti pelatihan yang memberikan perspektif keberagaman dan etis maupun cara memberitakannya.
Rumah bagi Semua
Lewat pembukaan training, diplomat Kedutaan Besar Belanda Joris Ramm turut mendorong agar jurnalis mengambil tanggung jawab dengan melakukan cek fakta dan membuat narasi tandingan (counter narration) atas menjamurnya disinformasi isu-isu keberagaman, termasuk LGBTIQ, yang sensitif sekaligus mudah viral di media sosial.
Karena itu, Sri Agustine dari Ardhanary Institute membekali para peserta perspektif Sexual Orientation, Gender Identity, gender Expression and Sex Characteristic (SOGIESC) dan bagaimana media memberitakannya.
“Jurnalis ketika memberitakan isu LGBT harus didasarkan pada sains, medis, dan pengetahuan tentang SOGIESC,” ajak advokat publik ini kepada para jurnalis Sulut.
Agustine mendorong media mulai memberikan edukasi kepada publik agar tidak lagi mengakses informasi-informasi yang salah atau mitos-mitos seputar LGBTIQ yang dituduh dari dan propaganda Barat. Sementara, di nusantara atau tanah air LGBTIQ sudah hidup bersama jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, seperti Bissu di Sulawesi Selatan.
Selain Agustine, Manager Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad ikut mendiskusikan perspektif demokrasi dan kebebasan, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) membahas HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan ahli digital security AJI Manado Ronny Buol membekali keamanan jurnalis dalam menggunakan perangkat dan mengakses medium digital.
Para jurnalis juga mendapat kesempatan berdialog langsung dengan komunitas atau kelompok minoritas: Iswan Sual dari penghayat agama lokal Minahasa Malesung, Naomi Adriana mewakili komunitas transpuan Manado, Evie Rompas dari Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI), dan dari agama Baha’i.
Membangun kesepahaman dan salaing kerja sama menciptakan media yang ramah dan aman bagi kelompok-kelompok rentan menjadi komitmen kedua belah pihak. Jurnalis dan komunitas sama-sama mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan Sulawesi Utara sebagai wilayah yang toleran, inklusif, dan rumah bagi semua.
Peraih Story Grant
Story grant liputan keberagaman menjadi bagian dari output training di Sulut. Setelah proses coaching, Agustine, tim AJI Manado, dan SEJUK memilih 8 proposal liputan yang berhak mendapat story grant keberagaman. Berikut ini peraih story grant:
1. Adhe Firmansyah, baklak.news – Transpuan dan Religiusitas di Kotamobagu
2. Finneke Wolajan, Tribun Manado – Etnis Filipina di Kota Bitung
3. Isvara Savitri, Tribun Manado – Ibu Rumah Tangga dengan HIV/AIDS di Balik Label Toleransi Sulut
4. Kristian Oka Prasetyadi, kompas.id – Disabilitas Netra di Manado: Mencari Terang di Kerasnya Jalanan
5. Ridwan Nurhamidin, palakat.id – Eksistensi Penghayat Malesung di Tanah Minahasa
6. Wenseslaus Leriando Kambey, kanalmetro.com – Transpuan Pekerja Seks di tengah Pandemi
7. Yintze Gunde, terasmanado.com – Evie Rompas dan Pekerja Seks di Manado
8. Rizali Posumah, Tribun Manado – Keluarga Beda Agama Rabbi Yahudi di Manado
Selamat buat rekan-rekan jurnalis yang terseleksi para coach untuk melanjutkan proposalnya dalam program story grant SEJUK. Rekan-rekan yang proposalnya belum berhasil, kami berharap akan diteruskan menjadi karya-karya jurnalistik yang penting dipublikasikan secara luas.
Bagi yang proposal story grant keberagamannya terpilih, sila hubungi Manager Program Yuni Pulungan untuk konfirmasi maupun informasi selanjutnya.[]
#StoryGrantSEJUK #JurnalismeKeberagaman #StoryGrantKeberagaman