Stigma adalah penghakiman yang menyingkirkan hak-hak dan kehidupan transpuan. Penghakiman bukan saja muncul dari lingkungan sekitar, melalui agama dan budaya yang heteronormatif dan patriarkis, lewat kebijakan dan aturan-aturan negara yang diskriminatif, bahkan dari diri transpuan sendiri.
Kuatnya penghakiman terhadap komunitas ragam gender dan seksualitas ini, terutama transpuan, disampaikan Kanzha Vinaa dalam pembukaan pameran kolaborasi 10 orang dari komunitas transpuan dengan 3 seniman yang bertajuk Ruang Rasa pada Rabu malam (20/3) di Goethe Institute, Menteng, Jakarta. Pameran Ruang Rasa yang diinisiasi Sanggar Swara dan Transcreative ini digelar pada 20-24 Maret 2024 di Menteng, Jakarta.
“Ruang Rasa menyuarakan keresahan berdasar pengalaman-pengalaman transpuan atas penghakiman dari sekeliling kami, bahkan dari kami sendiri yang masih dalam pencarian identitas diri,” ungkap Kanzha mewakili inisiator pameran.
Selain seniman dan kurator pameran seni Ika Vantiani, sambung Kanzha Vinaa, Ruang Rasa juga dibesut dua seniman transpuan Indonesia, Anggun Pradesha dan Ishvara Devati. Karena itu, menurut Kanzha, Ruang Rasa menjadi plaform untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak transpuan yang adalah perempuan, yang mengalami berbagai bentuk penghakiman sehingga menimbulkan trauma-trauma dalam hidupnya.
“Lewat pameran ini kami ingin menunjukkan kepada mereka yang ‘di luar’ bahwa kami ada dan bagian dari perempuan yang memperjuangkan hak yang sama,” tegas Kanzha.
Di malam pembukaan, Anggun Pradesha yang mewakili seniman memaparkan bahwa Pameran Ruang Rasa menyuguhkan tiga siklus perjalanan pengalaman transpuan: Ruang Penghakiman, Ruang Berbagi, dan Ruang Kebersamaan. Transpuan asal Jambi yang adalah sutradara film-film pendek sekaligus penulis skenario, puisi dan cerpen ini, dalam pameran yang dibuka setiap pkl. 10.00-19.00 sampai 24 Maret 2024, menggarap Ruang Penghakiman. Anggun menghadirkan pengalaman transpuan yang hidupnya penuh teror stigma lewat medium audio visual dan animasi.
“Stigma sangat menghambat perkembangan diri transpuan sebagai manusia,” ucapnya.
Ia hendak menunjukkan kepada para pemirsanya betapa dampak dari penghakiman terhadap transpuan sangat menghancurkan masa depan dan hidup mereka. Maka, lewat karyanya Anggun mengajak agar stigma-stigma yang meninggalkan luka dan trauma pada tubuh transpuan harus diruntuhkan.
Ruang Rasa, Kebebasan Berekspresi adalah Perlawanan
Dari komunitas LGBTIQ+, transpuan atau waria adalah kelompok yang paling rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan, karena secara fisik visibilitasnya paling nyata. Berdasarkan data 2019 dari Arus Pelangi, kekerasan terhadap transpuan meningkat dari tahun ke tahun, tahun 2018 tercatat 5 kasus pembunuhan terhadap transpuan dan sepanjang tahun 2019 sebanyak 6 transpuan dibunuh. Kemudian pada 2019 terdapat 45 perda diskriminatif terhadap transpuan.
Dalam catatan Arus Pelangi, rentang tahun 2006-2017 korban persekusi yang terjadi paling banyak menyasar kepada transpuan dengan persentase kekerasan 88%, diikuti dengan persekusi yang terjadi terhadap laki-laki GBQ 10%, dan 2% peristiwa ketidakadilan terhadap perempuan LBQ, serta kurang dari 1% peristiwa ketidakadilan terhadap transpria.
Hukum berdasarkan moral yang menyasar komunitas LGBTIQ+ juga semakin menjamur, berupa Perda maupun peraturan di kampus. Terutama jelang Pemilu 2024, beberapa pemerintah daerah bahkan menyelenggarakan seminar dengan narasi serupa terkait narasi kebencian terhadap LGBTIQ+. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menggelar workshop dengan mengusung narasi “Say No To Drugs, LGBT, Free Sex” pada Agustus 2023. Narasi anti-LGBT juga diusung dalam kegiatan sarasehan di Klaten dengan tema “Lindungi Anak Bangsa dari Pengaruh Perilaku LGBT” pada Oktober 2023. Di Sragen narasi waspada LGBT juga dijadikan tema seminar bertajuk “Ketahanan Keluarga dan Kewaspadaan LGBT” pada Desember 2023.
Dalam rilisnya Sanggar Swara merasa harus melawan situasi tersebut. Mereka melawan narasi kebencian dan diskriminasi melalui ruang yang ada, hal itulah yang melahirkan pameran Ruang Rasa. Pameran Ruang Rasa mengombinasikan pendekaran seni, hak asasi manusia, dan feminisme yang menghadirkan tiga siklus perjalanan transpuan di masyarakat yakni, Ruang Penghakiman, Ruang Berbagi, dan Ruang Kebersamaan.