Keberagaman identitas gender dan seksualitas dianggap sesuatu yang salah dan bertentangan dengan ajaran agama. Argumen tersebut langgeng dan berkembang menjadi stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap individu maupun kelompok queer.
Masyarakat mendiskriminasi dengan dalih membela Tuhan dan ajaran agama. Tafsir-tafsir agama yang heteronormatif masih dominan mengesampingkan pengalaman individu dengan keberagaman gender dan seksualitas. Tidak berhenti di masyarakat, pemerintah juga menggunakan tafsir dan cara pandang heteronormatif tersebut untuk memproduksi aturan maupun kebijakan yang anti-queer.
Tafsir heteronormatif salah satunya tergambar dalam kisah kaum Luth (Islam) dan Sodom-Gomora (Kristen). Keduanya kerap dijadikan landasan untuk menolak keberagaman gender dan seksualitas manusia. Kesimpulan tersebut disampaikan oleh dua tokoh agama Islam dan Kristen dalam Workshop Liputan Kolaborasi tentang Queer dan Pemimpin Agama Progresif yang digelar SEJUK (3/7/2024) di kawasan Menteng, Jakarta.
Ulama perempuan sekaligus akademisi dan aktivis gender, Musdah Mulia, menjelaskan bahwa cerita Nabi Luth dalam agama Islam adalah kisah kekerasan seksual berupa pedofilia. Namun penafsiran yang berkembang keliru, karena adanya keterbatasan bahasa, sehingga ditafsirkan kata “laki-laki”. Padahal penafsiran yang benar adalah “bocah laki-laki”.
“Tafsiran yang membelenggu adalah tafsir heteronormatif, tidak mempertimbangkan perasaan yang non-hetero (queer). Tafsiran itu produk manusia, human made. Bisa diubah,” papar Musdah yang adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Senada dengan Musdah Mulia, Pendeta Ira Imelda yang tergabung dalam Persatuan Perempuan Berpendidikan Teologi (Peruati) mengatakan, teks-teks selama ini dibaca dan dipahami sebagai hukuman. Termasuk kisah Sodom-Gomora yang sekaligus dipahami untuk mengeksklusi teman-teman queer.
Menurut Pendeta Ira Imelda, Peruati mengembangkan hermeneutika Tarian Pembebasan dan Transformasi dan juga tafsir postkolonial yang berpikir kritis serta melihat dari pengalaman semua manusia yang beragam.
“Tarian Pembebasan dan Transformasi itu dari refleksi pengalaman perempuan, dilihat secara kritis, tidak hanya sampai storytelling, kita analisis secara sistemik, sosial, budaya, dan analisis multi piramida untuk melihat seorang perempuan,” kata Pendeta Ira Imelda di hadapan kalangan editor media-media nasional (Jakarta) dan lokal dari Jawa Barat.
Tafsir-tafsir agama progresif dan mempertimbangkan pengalaman manusia yang beragam masih belum tersedia di Indonesia. Pendeta Ira mengatakan ada banyak pandangan berbeda tentang tafsir terutama dalam melihat keberagaman identitas gender dan seksual.
“Ada kelompok yang secara tegas menyatakan menolak, banyak juga yang progresif walau istilah progresif jadi perdebatan juga di kalangan Kristen,” kata Ira dalam kegiatan yang didukung Koalisi #RawatHakDasarKita dan Kedutaan Kanada di Indonesia.
Namun, Musdah Mulia kembali menekankan dalam Islam, Nabi Muhammad datang membawa ajaran kemanusiaaan, tidak boleh ada diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok lainnya. Menjadi manusia toleran itu harus dirajut, hanya yang mendapat hidayah yang melakukan upaya saling memanusiakan manusia.
“Agama itu mengajarkan nilai-nilai luhur, kadang tafsir agama membuat orang tidak manusiawi. Agama itu untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan karena Tuhan engga butuh. Kita beragama untuk kemanusiaan,” kata Musdah Mulia.
Dampak dari tafsir agama yang bias terhadap ragam gender dan seksual mengakibatkan individu queer tidak diberi ruang dalam tradisi keagamaan. Seperti yang dirasakan oleh Arisdo Gonzalez, salah satu influencer queer. Ia mengaku sejak kecil menjadi Kristen yang rajin ke gereja dan bercita-cita menjadi pendeta. Ia bahkan kuliah dan belajar teologi. Ketika kuliah ia beruntung mengenal pendeta progresif, mendiang Pdt. Stephen Suleeman, yang merangkulnya sebagai individu queer. Arisdo kemudian coming out sebelum lulus kuliah.
Setelah lulus, Aris kembali datang ke gereja dan mengatakan sudah lulus belajar teologi. Namun gereja langsung menolaknya dengan alasan Aris seorang queer yang aktif membicarakan isu LGBT dan akan memengaruhi citra gereja. Tidak mudah menghadapi penolakan itu, Aris terpaksa meninggalkan gereja selama 3 tahun karena merasa gereja tidak bisa menjadi ruang aman baginya.
“Saya yakin, punya identitas berbeda tetap punya hak beribadah. Tuhan melihat iman kita dan saya percaya kekristenan itu penuh kasih. Yesus Kristus merangkul siapa pun, termasuk orang termarjinalkan. Setiap orang berhak untuk ibadah dan memiliki hubungan personal dengan Tuhannya,” ujar Arisdo.
Sayangnya hingga kini banyak gereja masih tidak memberi ruang bagi komunitas queer. Arisdo pun beribadah bersama komunitas ataupun individu queer. Mereka punya mimbar sendiri. Sehingga, ruang-ruang inklusif yang menghidupkan kesetaraan dan kebersamaan tidak terbangun.
Hal yang sama dirasakan Dena Rachman. Ia menceritakan pengalaman perjalanannya dalam mencari Tuhan. Menurutnya tidak ada yang salah dengan agama, namun doktrin agama perihal dosa membuatnya ketakutan. Akhirnya Dena sempat menjadi atheis. Tapi sebagai manusia, Dena merasa butuh pegangan dan butuh spiritualitas.
“Tapi aku mesti ke mana, ke masjid saja aku diliatin, karena aku ini transpuan. Aku itu hijrah dari Muslim ke Kristen. Buat aku agama itu lebih personal. Aku lebih nyaman menyebutnya dengan term ‘faith’,” ujar Dena. Kian hari Dena semakin bersyukur mengenal orang-orang progresif dan gereja yang memberi tempat bagi dirinya dan teman-teman queer lainnya untuk belajar agama. (Shafa)