Warga negara Palestina yang tergabung dalam Betlehem Bible College Choir menyanyikan doa dan pujian dalam rangka menyambut Natal di Glow Sanctuary Thamrin Residences, Jakarta (11/12/2016)
Sepanjang 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa-fatwa yang memicu beberapa kelompok keagamaan melakukan tindakan yang meresahkan kepada warga negara lainnya. Bahkan, fatwa-fatwa MUI mendorong pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memecah belah sesama anak bangsa.
Fatwa sesat terhadap Gafatar (3 Februari 2016) berdampak bagi hampir 10 ribu warga eks Gafatar menanggung diskriminasi dari pemerintah dan tindakan intoleransi dari warga lainnya. Sehingga, ketika kembali ke daerah asalnya masing-masing, warga eks Gafatar yang terusir dari Kalimantan sulit mendapatkan penerimaan dari masyarakat maupun aparat pemerintahan sampai tingkat paling bawah, desa atau kelurahan.
Fatwa MUI ini juga dijadikan dasar untuk mengkriminalisasi tiga elit Gafatar (Mahful Muis, Ahmad Mushaddeq, dan Andry Cahya). Sampai kini proses persidangan terhadap ketiga warga negara Indonesia yang berbeda keyakinan dengan agama-agama mainstream ini masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pasal 156a tentang Penodaan Agama digunakan menjadi salah satu penjerat ketiganya.
11 Oktober 2016 MUI kembali mengeluarkan fatwa meresahkan. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) difatwa MUI melakukan penistaan agama dan menghina ulama tanpa terlebih dahulu melakukan tabayyun (klarifikasi) terhadap Ahok.
Kali ini dampak fatwa MUI jauh lebih besar karena menguras energi seluruh elemen bangsa, dari mulai warga negara biasa, elemen masyarakat sipil, ormas-ormas keagamaan, media massa, para elit agama dan politik, aparat pemerintahan sampai Persiden Jokowi terbelah dan beberapa saling berhadap-hadapan. Demonstrasi 4 November 2016 yang penuh ujaran kebencian dan pada malam harinya berakhir dengan kekerasan disusul aksi 2 Desember 2012 yang sampai hari ini dampak permusuhan atas nama agama terhadap agama dan etnis tertentu terus berlangsung.
“Luka” disharmoni dan disintegrasi yang terus menjalar dengan digerakannya demonstrasi di daerah-daerah untuk mengawal fatwa MUI yang dikeluarkan 11 Oktober 2016 ini sampai pada bentuk aksi pembubaran Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung 6 Desember 2012 dan berbagai upaya pemboikotan, lalu disambung MUI dengan fatwa provokatif berikutnya: Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram. Fatwa MUI ini dikeluarkan 14 Desember 2016.
Setelah terbit fatwa yang dari momentumnya terkait perayaan Natal ini, berbagai aksi aparat dan warga yang meresahkan masyarakat bermunculan. Media massa dan media sosial pun dengan cepat bereaksi atas tersebarnya surat edaran yang dibuat oleh Polres Metro Bekasi Kota dan Polres Kulon Progo sebagaimana difatwakan MUI. Sementara Ketua Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur Ali Fahmi mendaku bahwa mereka telah mendatangi delapan mal dan pusat perbelanjaan di Kota Surabaya untuk sosialisasi fatwa MUI terkait hukum penggunaan atribut keagamaan bagi non-Muslim (Tempo.co, 20/12/2016). Hal-hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan publik dan warga yang beragama Kristen dan Katolik untuk bisa merayakan Natal dengan damai.
Untuk itu, harus ada pemahaman, sikap dan tindakan yang benar terhadap fatwa-fatwa MUI yang dampaknya sangat besar bagi terciptanya keresahan, provokasi dan disintegrasi bangsa. Cara masyarakat merespon dan aparat atau negara mendudukkan fatwa-fatwa MUI seperti di atas dengan tepat adalah dengan mengabaikannya.
Sebab, menurut Wakil Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI Pusat Dr. Syafiq Hasyim, kedudukan fatwa MUI adalah pendapat biasa yang secara hukum dan Konstitusi tidak mengikat. Maka fatwa MUI tidak harus dipatuhi oleh warga terlebih lagi negara dan aparat-aparatnya, terutama polisi yang selama ini paling sering menggunakannya (25/1/2016).
Lihat: https://sejuk.org/2016/01/25/fatwa-mui-tentang-gafatar-bukan-fakta-hukum/
Pernyataan Syafiq didukung oleh salah seorang Ketua MUI Pusat Yusnar Yusuf yang menegaskan bahwa fatwa MUI tidak wajib diikuti umat Islam, termasuk fatwa MUI 14 Desember 2016 tentang haramnya mengenakan dan memproduksi atribut keagamaan non-Muslim bagi umat Islam. Jadi, Yusnar Yusuf memperbolehkan siapapun mengikuti atau tidak mematuhi fatwa MUI tanpa ada sanksi atau ancaman hukuman dan tidak boleh juga ada orang yang memaksakan terhadap orang lain untuk ikut atau tidak ikut fatwa MUI (Kbr.id, 20/12/2016).
Sehingga, apresiasi harus disampaikan kepada Presiden Jokowi yang memerintahkan Polri untuk menindak tegas aksi-aksi sweeping terhadap pemakaian dan pemasangan atribut Natal. Begitupun, Kapolri Tito Karnavian perlu didukung atas tegurannya terhadap Kapolres Metro Bekasi Kota dan Kapolres Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terkait surat edaran penggunaan atribut keagamaan yang merujuk pada fatwa MUI.
Sebab, kewajiban negara adalah memberikan jaminan agar segenap warganya dapat menjalankan keyakinannya secara damai, bukan mengikuti fatwa MUI yang memprovokasi. Untuk itu negara harus menghormati dan melindungi hak-hak beribadah dan berkeyakinan umat Kristen dan Katolik dalam merayakan Natal.
Selamat Natal.