“Perspektif gender adalah sesuatu hal yang harus dilatih setiap hari. Karena saya pun bisa lupa memberikan perspektif perempuan dalam sebuah penugasan peliputan.”
Pernyataan itu disampaikan Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis kepada para jurnalis Jakarta tentang pentingnya mengembangkan pemberitaan berperspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam Workshop Jurnalisme Keberagaman di Tahun Politik. Kegiatan ini digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerjasama dengan Norwegian Embassy dan Search for Common Ground.
Saat memberikan materi tentang Perempuan, Politik dan bagaimana Memberitakan yang Adil Gender pada Sabtu malam (12/5), perempuan yang bernama lengkap Uni Zulfiani Lubis ini menegaskan bahwa memproduksi berita-berita yang berperspektif gender bukan hanya menjadi tanggung jawab jurnalis perempuan, tetapi juga para jurnalis laki-laki.
“Kalau bukan kita yang punya kesempatan (mengangkat isu ini), mungkin yang lain juga tidak akan kepikiran,” kata mantan anggota Dewan Pers seraya mewanti-wanti bahwa perspektif perempuan dalam pemberitaan adalah hal yang paling sering dilupakan karena kesibukan ataupun rutinitas sehari-hari para pewarta.
Kaitannya tanggung jawab jurnalis dalam mengkonsolidasikan demokrasi melalui tindakan politik yang berperspektif adil gender, Uni Lubis yang juga pernah menjabat Pemimpin Redaksi di ANTV, Viva.co.id, dan Rappler ini mengajak para jurnalis agar tidak sekadar menunggu para pejabat, baik di legislatif maupun pemerintahan, menyuarakan gagasan atau program-program yang berperspektif perempuan. Justru, tugas wartawan adalah membuat para pejabat menyuarakan kebijakan adil gender.
“Kalau mereka nggak bersuara, kenapa nggak media yang mendatangi mereka dan memaksa mereka untuk bersuara,” tantangnya kepada 22 jurnalis dari media TV, radio, online dan cetak yang terlibat aktif dalam workshop yang diselenggarakan pada 12-13 Mei 2018 di Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, sambungnya, jurnalis harus berinisiatif untuk mencari narasumber-narasumber baru terutama perempuan yang aktif di panggung politik yang berperspektif adil gender. Sehingga, media tidak selalu menampilkan narasumber perempuan yang itu-itu saja.
Politisasi SARA dan Pengaburan Fakta
Tantangan yang tidak mudah dalam memberitakan isu-isu keberagaman, termasuk isu perempuan, telah terlebih dahulu disampaikan peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad. Dalam paparannya tentang diskursus politik yang ramai diperbincangkan di Indonesia, kebanyakan bernada muram dengan menampilkan teori-teori yang melihat politik di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir elit. Hal tersebut sangat mewarnai diskursus yang berkembang di media mainstream ataupun media sosial.
Menurut lulusan master Kebijakan Publik The Australian National University (ANU) ini, demokrasi Indonesia selalu dipersepsikan mengalami kemunduran. Cara pandang demikian lebih karena dalam membaca politik negeri ini dipengaruhi dua teori yang dominan: oligarki dan kartel. Model oligarki memandang bahwa yang menguasai politik dan ekonomi bangsa ini hanya segelintir elit. Sementara yang menggunakan teori kartel memberikan gambaran bahwa perilaku-perilaku partai politik tidak lagi ideologis memperjuangkan platform politik, sebaliknya partai-partai sekadar mengejar kepentingan sesaat yang populer bagi masyarakat. Sehingga, terbentuknya koalisi, baik yang pro maupun oposisi pemerintah, tidak mencerminkan kesamaan platform masing-masing partai.
Untuk itu Saidiman yang menyampaikan materi “Situasi Kebebasan Beragama dalam Proses Politik Indonesia” mencoba mengajak para jurnalis agar tidak terjebak pada gagasan elit yang dikembangkan melalui dua teori besar di atas tentang demokrasi bangsa ini.
“Dua teori politik yang berkembang dalam membaca kecenderungan demokrasi bangsa ini adalah pandangan para elit. Hal tersebut terus-menerus disampaikan para elit dan pengamat politik yang ditampilkan di media-media dengan mengabaikan opini publik yang sebenarnya,” ujar pria yang juga salah satu pendiri SEJUK.
Ia menjelaskan bahwa terjadi pengaburan atas fakta yang sebenarnya hidup dalam pandangan publik Indonesia, termasuk dalam persoalan intoleransi dan radikalisme berbasis agama, suku atau etnis (SARA). Seolah-olah, seluruh pandangan dan perilaku politik bangsa ini tidak lagi punya harapan. Sebab, untuk mencapai kepentingan politik dan memenangkan hati para pemilih, agama selalu dipakai dalam kampanye dan perbincangan elit di media mainstream dan media sosial.
Padahal, dengan mengacu hasil survey, Saidiman meyakini masyarakat Indonesia lebih banyak yang percaya bahwa politik harus dipimpin oleh mereka yang mau bekerja, dengan memilih calon-calon (dalam pemilihan umum) yang mempunyai prestasi atau rekam jejak dalam pembangunan dan program-program yang menyentuh hajat hidup warga. Hal tersebut, lanjut Saidiman, yang menjelaskan mengapa banyak pemimpin di daerah yang berprestasi seperti Walikota Surabaya Risma, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan sebagainya.
Fakta yang demikian sejalan dengan hasil suvei nasional rutin SMRC maupun Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan bahwa publik Indonesia secara umum semakin rasional: alasan utama memilih pemimpin karena mau bekerja keras dan jujur, tidak korupsi. Agama faktor berikutnya.
“Memang, para elit terus-menerus mempolitisasi isu SARA di media mainstream maupun media sosial. Mereka mengabaikan opini publik, yang berdasarkan survei kami, masyarakat memilih calon pemimpin karena program yang ditawarkannya,” ungkap Saidiman menyayangkan sekali banyak elit dan pengamat politik yang memanfaatkan agama untuk kepentingan kekuasaan.
Ia juga memasukkan kelas terdidik perkotaan yang sangat aktif mengakses internet dan media sosial sebagai bagian dari elit yang ikut mengaburkan opini publik. Temuan survei-survei SMRC menunjukkan pandangan dan sikap keagamaan kalangan terdidik menengah atas di perkotaan cenderung konservatif. Merekalah yang membanjiri opini di media sosial dengan politisasi agama.
Dengan pengertian lain, para elit yang membawa isu SARA mengaburkan aspirasi mayoritas warga yang menghendaki pemimpin politik yang bekerja keras, jujur, berintegritas dan memajukan program-program kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Agama bukan alasan utama orang memilih pemimpin politik.
Karena itulah media massa harus berani mengalahkan politisasi SARA yang terus memenuhi pemberitaan. Saidiman menantang para jurnalis untuk mulai mengangkat opini atau aspirasi publik dan mengarahkan para peserta pilkada 2018 dan pemilu 2019 untuk tidak menjual isu agama, tetapi visi dan misi atau program kerja untuk memajukan kehidupan warga dan daerahnya.
Konflik Paling Banyak Diberitakan Media
Setelah pembukaan workshop Sabtu siang (12/5), materi pertama adalah presentasi analisis konten berita media. Sesi ini dibawakan Direktur SEJUK Ahmad Junaidi dan perwakilan Search for Common Ground Moudy Cynthia Sarman. Keduanya memaparkan hasil penelitiannya masing-masing terkait pemberitaan media dalam isu-isu keberagaman.
Junaidi mempresentasikan hasil penelitian terhadap tone pemberitaan 5 media online terbesar di Indonesia: Detik.com, Kompas.com, Tribunnews.com, Liputan6.com, dan Viva.co.id. Penelitian ini kolaborasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Universitas Tarumanagara (UNTAR) dan SEJUK. Sementara Moudy memaparkan hasil analisis konten media dari 10 media online dan cetak: Tribunnews.com, Detik.com, Portal-Islam.id, Kompas.com, Republika.co.id (media online Media); dan Kompas, Republika, The Jakarta Post, Jawa Pos, Koran Tempo (Koran/media cetak).
Moudy menjelaskan bahwa berita-berita yang menjadi objek analisisnya digunakan untuk mengetahui tone atau kecenderungannya apakah positif atau negatif terhadap kebebasan beragama dan toleransi lintas-iman. Berdasarkan temuannya masing-masing, Junaidi maupun Moudy sama-sama menyampaikan bahwa secara umum media mainstream mendorong kebebasan beragama dan isu keberagaman lainnya. Meski demikian, pemberitaan terkait isu keberagaman masih didominasi peristiwa konflik dan tidak sedikit yang masih bersifat provokatif.
“Berita-berita yang provokatif ini biasanya banyak muncul di hari Sabtu atau Minggu yang tidak mendapat banyak perhatian dari editor. Sebab mereka banyak yang libur” kata Junaidi.
Editor The Jakarta Post ini juga melihat pemberitaan yang lemah verifikasi dari pihak korban, dalam berita konflik atau diskriminasi dan kekerasan atas nama agama. Sebab, narasumbernya kebanyakan dari pihak pemerintah atau aparat. Sehingga, tidak sedikit berita-berita di media online yang menyudutkan kelompok korban.
Faktor terbatasnya ruang, harus pendek dan kalaupun ingin panjang harus berseri dengan angle yang berbeda, selain juga kecepatan pemberitaan, yang menurut pengajar di UNTAR ini menjadi penyebab media-media online tidak banyak memberikan suara untuk kelompok minoritas.
Temuan-temuan tersebut mendapat konfirmasi dari Moudy dengan mengatakan bahwa pemberitaan media mainstream terhadap isu-isu keberagaman masih provokatif, sensasional dan kerap menimbulkan ketegangan di kalangan warga yang berbeda agama dan keyakinan. Ia melihat ada persoalan teknis dan substansi yang masih menjadi tantangan media-media dalam memberitakan isu keberagaman yang mendorong perdamaian, bukan ketegangan di masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
“Selain persoalan kompetisi pada media-media online yang menuntut kecepatan dan clickbait, rendahnya sensitivitas jurnalis terhadap isu kebebasan beragama dan toleransi antar-keyakinan menjadi tantangan untuk mengembangkan jurnalisme damai yang ramah terhadap keberagaman,” kata Moudy.
Media Kontrol bagi Negara untuk Lindungi Kebebasan Beragama
Hari pertama workshop difasilitasi Manajer Program & Advokasi SEJUK Tantowi Anwari. Hari kedua Manajer Program HAM ASEAN Human Rights Working Group (HRWG) memfasilitasi proses workshop yang memasuki tema media dan perspektif HAM dan panduan memberitakan isu keberagaman di tahun politik.
Penegakan HAM di tengah Meningkatnya Kriminalisasi berbasis SARA menjadi materi workshop hari kedua. Direktur Amnesty International Indonesia mengisi materi tersebut untuk menguatkan perspektif hak asasi manusia kalangan jurnalis dalam pemberitaan terkait isu keberagaman.
Ia memulai membuka fakta kebencian, terutama yang berbasis SARA, yang disponsori oleh pemerintah yang terjadi di banyak negara. Sehingga, situasinya berdampak pada makin tersudutkannya kelompok minoritas akibat diskriminasi dan intoleransi yang massif.
“Di banyak negara, tahun 2016, aktor negara dan non-negara hanya mengeluarkan pernyataan merendahkan terhadap kelompok minoritas. Namun tahun 2017, pernyataan tersebut menjadi kenyataan ketika aktor negara dan non-negara mengeksploitasi sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit untuk mengemukakan retorika kebencian,” ungkap Usman yang pernah menjadi Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Beruntungnya, selalu ada unsur-unsur masyarakat, terutama korban, yang melawan serangan kebencian berbasis SARA ini dan menuntut negara agar hadir. Meskipun, sambung Usman Hamid, semuanya dikembalikan kepada pemerintah agar tidak tunduk pada kebencian-kebencian dengan mengakui dan mengatasi berbagai ketidakadilan yang menimpa kalangan minoritas.
Meski demikian, dalam kasus Indonesia, kuatnya politik kebencian agama dan etnisitas bukan saja membuat kerusakan-kerusakan yang sulit untuk diperbaiki, terutama karena terbelahnya masyarakat sejak Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta, bahkan menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 politik kebencian bisa saja terus dimainkan demi mendapatkan kekuasaan. Karena itulah Usman Hamid sangat mengkhawatirkan kelompok-kelompok warga yang hak dan kebebasannya rentan terlanggar, apabila negara tidak segera hadir.
“Politik kebencian di 2017 melahirkan berbagai jenis pelanggaran-pelanggaran HAM baru,” ujar lulusan master Department of Political and Social Change ANU, Canberra.
Ia juga memaparkan kasus-kasus kebencian pada kelompok minoritas seksual yang meningkat selama 2017. Jika pada 2016, pejabat negara hanya melontarkan pernyataan yang menyudutkan, pada 2017 aparat mulai melakukan penangkapan pada kelompok LGBT. Usman merinci kasus sebagai berikut: 25 Mei 2017 sebanyak 141 orang ditangkap di Jakarta Utara setelah menghadiri apa yang polisi gambarkan sebagai “pesta seks gay”; pada bulan yang sama, 2 orang di Aceh dihukum cambuk 83 kali karena hubungan sesama sejenis; Oktober, 51 orang, termasuk 7 WNA, ditangkap di sebuah sauna di Jakarta.
“Mereka diincar hanya atas dasar orientasi seksualnya,” kata Usman.
Maka, Usman Hamid sangat berharap kepada para jurnalis atau media-media agar dalam pemberitaannya lebih kuat menuntut negara supaya hadir secara tegas menghentikan hate speech dan melindungi kelompok rentan. Media juga diharapkan mampu menghentikan negara mengkriminalisasi kelompok minoritas dengan delik Penodaan Agama. Sebab, ini menjadi fungsi media untuk mengontrol negara agar melindungi dan memenuhi hak-hak segenap warganya.
Jurnalisme Keberagaman di Tahun Politik
Sebelum masuk di ujung workshop, Andy Budiman dan Budhi Kurniawan yang merupakan dua pendiri SEJUK menjawab pertanyaan-pertanyaan dari beberapa peserta tentang bagaimana Jurnalisme Keberagaman menjadi panduan atau acuan para juru warta dalam meliput isu keberagaman yang di tahun-tahun politik harus mampu mengantisipasi politisasi SARA.
Andy Budiman mantan pengurus AJI yang pernah bekerja di KBR68H, SCTV, dan media Jerman Deutsche Welle terlebih dahulu melontarkan beberapa pertanyaan penting agar para peserta ikut terlibat menjawab pentingnya media dalam mengawal tahun-tahun politik yang sudah bertebaran dan besar kemungkinan dibanjiri sentimen SARA. Dari proses diskusi inilah para peserta diajak kembali menegaskan tugas jurnalis untuk menyampaikan kebenaran.
Dalam tsunami hoax dan fake news bernuansa SARA, mengabarkan kebenaran menjadi prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Untuk itulah, Andy menyampaikan dorongan, hendaknya media jangan sampai turut menciptakan proses politik yang memberikan jalan kemenangan bagi calon-calon yang gemar mempolitisasi dan menebarkan kebencian-kebencian SARA. Ia memberikan dua contoh di mana media berperan dalam menciptakan proses politik dengan suasana penuh kebencian, terutama terkait SARA: Amerika Serikat dan Pilkada Jakarta.
“Apa yang terjadi di Amerika Serikat, media terlalu bersemangat menjelek-jelekkan Hillary dan melupakan bahwa lawannya, Trump, tidak lebih baik atau jauh lebih buruk dari Hillary,” tuturnya.
Kebencian Trump terhadap imigran dan hasrat islamofobia seolah bukan persoalan serius bagi media-media dalam menatap masa depan demokrasi di Amerika Serikat. Posisi seperti itu, tegas Andy, harus dihindari media-media agar dalam proses politik di Indonesia (2018 dan 2019) tidak lagi mentoleransi kebencian-kebencian bernuansa SARA, sebagaimana juga terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta.
Karena itu, selain mengabarkan kebenaran dalam proses politik yang sangat kental bernuansa SARA, hal berikutnya agar media tidak terjatuh dalam pemberitaan-pemberitaan yang mengobarkan kebencian, maka kesetiaan para jurnalis terhadap prinsip-pronsip jurnalisme menjadi sangat fundamental.
“Bersetia kepada Kode Etik Jurnalistik adalah langkah awal bagi jurnalis supaya tidak terpeleset pada fake news atau berita-berita pengobar kebencian,” ujar Andy yang menekankan para peserta agar konsisten pada prinsip-prinsip good journalism.
Sebagai antisipasi, Budhi Kurniawan lantas lebih masuk ke dalam teknis jurnalistik agar pemberitaan isu-isu keberagaman tidak justru membuat kelompok minoritas menjadi semakin rentan. Jurnalis Kompas TV yang pernah bekerja di KBR68H ini mewanti-wanti agar para pewarta dalam memberitakan isu keberagaman menyeleksi diksi-diksi yang tidak melalabeli atau stereotip, seperti menyebut kelompok atau paham keagamaan dengan menggunakan kata sesat, menyimpang, dan sejenisnya.
Selain itu, pemilihan narasumber menjadi sangat penting dalam mengkonstruksi sebuah pemberitaan apakah “tone”-nya ramah terhadap keberagaman atau sebaliknya. Di sini, sensitivitas juga harus diasah dalam diri jurnalis ketika menentukan narasumber yang tidak menjadi “corong” kebencian, sebaliknya memberi ruang terhadap tokoh-tokoh yang lebih mengedepankan perdamaian.
Sehingga, laporan tentang isu-isu keberagaman, terlebih yang berbentuk konflik, tidak cukup berupa “talk journalism”, namun didorong agar lebih investigatif, berbentuk feature dan model-model yang memberikan banyak suara kepada kelompok minoritas atau korban.
“Dalam konflik atas nama agama, Jurnalisme Keberagaman tidak sekadar menganjurkan berita yang cover both sides, tetapi juga harus menampilkan banyak angle dan aspek, dengan lebih mengedepankan sisi kemanusiaan, cover all sides,” kata Budhi.
Jadi, prinsip yang dimajukan Jurnalisme Keberagaman, yang telah dirumuskan SEJUK bersama jaringan, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jurnalis senior, pengamat atau ahli media massa dan kelompok masyarakat sipil, adalah bagaimana mengembangkan dunia pers Indonesia lebih banyak memproduksi berita yang menyuarakan kelompok rentan, giving voice to the voiceless. []